BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejalan
dengan perkembangan perpolitikan di Indonesia pasca Orde Baru, maka dapat
dikatakan pada saat ini bahwa, pers atau media massa merupakan salah satu
kekuatan dalam menentukan opini masyarakat. Apalagi dalam kehidupan
berdemokrasi saat ini pers atau media massa adalah salah satu pilar penting
yang mendukung tegaknya demokrasi. Dalam sistem politik di negara demokrasi,
pers atau media massa merupakan alat atau sarana yang efektif untuk mengawasi
jalannya sebuah pemerintahan, di samping fungsi lainnya untuk memberi
informasi, menghibur, dan berjualan[1].
Dalam
kerangka kehidupan berdemokrasi, pers atau media massa merupakan salah satu
pilar penting tegaknya sebuah demokrasi, khususnya di negara yang berdemokrasi
seperti di Indonesia. Aktivitas
pers Indonesia dalam melaporkan suatu peristiwa-peristiwa, khususnya
peristiwa-peristiwa politik mampu memberikan dampak yang amat signifikan bagi
perkembangan politik. Sebagai contoh kasus ketika pers Indonesia memberikan
pemberitaan terbuka tentang keberatan masyarakat terhadap pemerintahan Orde
Baru telah turut serta mempercepat tumbangnya rezim itu pada tahun 1998 oleh
gerakan Reformasi.
Pada masa Orde Baru, kehidupan pers di
Indonesia kembali mengalami keterpurukan,
pada masa ini peran pers dalam segi kontrol agak
berkurang. Media massa tampak masih dikontrol oleh pemerintah. Pada masa Orde
Baru, pemberitaan media disensor demi kepentingan kekuasaan. Bahkan ada
beberapa media yang dicabut izin penerbitannya karena menampilkan berita yang
dianggap mengkritik pemerintah Orde Baru. Kemudian pada Zaman Reformasi ini
kecenderungan media yang diperlihatkan adalah kebebasan dalam pemberitaan,
terutama berita-berita politik. Menyikapi isu politik dengan perspektif yang
kritis, dilengkapi dengan penilaian serta sikap media atas peristiwa politik
yang terjadi.
Media
massa secara teoritis memiliki fungsi sebagai saluran informasi, saluran
pendidikan dan saluran hiburan, namun kenyataannya media massa memberi efektif
lain diluar fungsinya. Efek
media massa tidak saja mempengaruhi perilaku, bahkan efek media massa dapat
mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat dan politik. Pembingkaian
berita dengan maksud-maksud tertentu oleh sebuah media massa, dapat dilakukan
dalam waktu pendek dan efeknya dapat membentuk opini-opini yang bisa
diperkirakan oleh orang media, termasuk pula aturan agenda yang berakibat
terhadap terpolanya agenda masyarakat
sesuai dengan pilihan agenda media.
Adanya dampak komunikasi terhadap persepsi seseorang, yang bisa memainkan
peranan penting dalam kepentingan.
Salah satu dari etika junalisme adalah asas
ketidakberpihakan yang mengandung aspek keseimbangan dan netralitas. Sebagai
salah satu media massa guna untuk memberikan informasi kepada masyarakat,
penyiaran sebagai komunikasi massa yang mempunyai fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Hal ini
tercermin dalam fungsi yang dimiliki oleh media massa,
B.
Perumusan
Masalah
Namun saat sekarang ini media massa khususnya
Indonesia mengalami degradasi peran,
sehingga sekilas terlihat pemanfaatan media massa hanya menjurus pada
pemanfaatan kepentingan dikalangan
politisi, sehingga mengenyampingkan peranan lainnya yang seharusnya dimiliki
media massa. Hal ini dibuktikan dengan berlomba-lomba pennguasaan atas media
massa dalam usaha melakukan politik, hal ini dicerminkan melalu pemanfaatan
media massa sebagai sarana komunikasi politik, dalam bentuk pembangunan
pencitraan yang biasanya dilakukan dengan cara melemparkan isu-isu yang
berdampak pada citra karakter.
Hal
inilah yang pada akhirnya menpersempit arti makna pentingnya peranan sebuah
media massa dalam proses demokratisasi kehidupan bernegara, oleh karena itu
Burhan Bungin menjelaskan bagaimana efek dari ketidakbermanfaatannya dari
sebuah media massa dalam membentuk proses komunikasi dalam struktur dan proses
sosial. Maka dirasakan penting untuk membahas sejauh manakah efek yang
diberikan oleh media massa secara langsung dan tidak langsung dalam kehidupan
politik di Indonesia.
BAB II
ISI
A.
Komunikasi Politik
Menurut DeFleur komunikasi adalah
pengkoordinasian makna antara seseorang dan khalayak, sedangkan menurut George
A. Theodorson menyatakan komunikasi adalah pengalihan informasi dari satu orang
atau kelompok kepada yang lain, terutama dengan menggunakan simbol.[2].
Sedangkan politik adalah suatu tata cara atau usaha untuk mengatur secara aktif
perkembangan suatu masyarakat dalam keseluruhannya dan pemberian bentuk kepada
masyarakat masa depan[3].
Harold Laswell[4]
menjelaskan betapa erat hubungan dunia politik dengan dunia komunikasi, dalam
artikulasiannya, politik tidak akan lepas dari persoalan siapa, mengatakan apa
dan melalui media mana, dan kepada siapa, serta dengan pengaruh bagaimana.
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi
dalam sistem politik yang sangat penting. Komunikas politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan
politik rakyat yang menjadi input sistem politik dan pada waktu yang sama ia
juga menyalurkan kebijakan yang diambil atau output sistem politik[5].
Komunikasi politik dapat berarti sebagai penyebaran arti, makna, atau pesan
yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik. Komunikasi politik,
seperti komunikasi lainnya, membutuhkan seorang pengirim, pesan-pesan, beberapa
saluran atau seorang pengirim, dan seorang penerima. Kebanyakan komunikasi
politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga yang terspesialisasi,
seperti media massa, badan-badan informasi pemerintah, atau partai politik[6].
Dalam sistem politik, komunikasi berfungsi
sebagai penghubung antara situasi kehidupan politik yang ada pada suprastruktur
politik dengan infrastruktur politik yang dapat dipakai untuk menciptakan
kondisi politik yang stabil. Komunikasi dapat disalurkan melalui berbagai jenis
sarana dan media komunikasi yang ada, baik melalui media cetak, media
elektronik, maupun media internasional[7].
Salah satu saluran komunikasi yang berperan sangat penting dan efektif adalah
media massa. Hal ini disebabkan karena media massa bersifat mudah didapatkan
oleh setiap masyarakat, bisa menyampaikan berita dan pesan secara serentak,
serta memiliki jangkauan yang luas. Secara umum media massa mempunyai peran
tertentu dalam menyalurkan berita, informasi, dan pesan-pesan politik di
tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi
dan pesan-pesan politik yang mengandung unsur kontroversial atas isi pesan
sebagai input dalam sistem politik yang ditujukan pada sejumlah sasaran baik
dalam bentuk kata-kata, simbol, berita, atau pendapat melalui suatu sarana
yaitu media massa. Media massa dalam studi ini selain menjadi sarana pengirim
pesan politik juga memainka peran dalam menafsirkan pesan-pesan politik
tersebut dalam pemberitaannya. Peran tersebut terkait dengan fungsi media dalam
negara demokratis yaitu fungsi watchdog
yang mengontrol jalannya pemerintahan agar sistem politik pun berjalan dengan
semestinya.
Menurut kamus oxford, media massa yang disebut
mass media atau mass communications
didefinisikan sebagai : ”Sources of
information and news such as newspaper, magazines, radio, and television that
reach and influence large number of people[8].
Disebut media massa karena adanya karakter massa yang dimiliki oleh media.
Dalam studi komunikasi politik media massa sebagai salah satu elemen sistem
politik dilihat secara kritis. Hafied Cangara mengatakan bahwa media massa
adalah alat yang digunakan dalam peyampaian pesan dari sumber kepada khalayak
(penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar,
film, radio, dan televisi[9]. Zulkarimen Nasution mengatakan bahwa pada
intinya sudut tinjau komunikasi politik berfokus, pertama, menghubungkan
pembangunan media massa, organisasi-organisasi artikulasi politik dan
pernyataan kepentingan serta pembentukan opini kolektif, dengan reaksi
individual terhadap tantangan ide-ide baru, peradaban mereka atas nilai-nilai
yang saling bertentangan; dan kedua, menunjukkan bahwa seluruh problematika
yang kompleks tersebut mendasari permasalahan umum konsensus politik.[10].
Media
massa merupakan salah satu alat yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
memperoleh sejumlah informasi. Media massa itu sendiri terdiri dari berbagai
jenis yaitu media cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid dan media yang
melalui proses pencetakan lainnya dan media elektronik seperti televisi, radio
dan internet. Sebagaimana diketahui, salah satu media massa yang sarat dengan
informasi adalah pers. Pers merupakan cermin realitas, karena pers pada
dasarnya merupakan media massa yang lebih menekankan fungsinya sebagai sarana
pemberitaan. Isi pers yang utama adalah berita dan berita adalah bagian dari
realitas sosial yang dimuat media karena memiliki nilai yang layak untuk
disebarkan kepada masyarakat.
Istilah
pers yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris press yang mempunyai pengertian luas dan sempit. Dalam pengertian
luas, pers mencakup semua media komunikasi massa seperti radio, televisi dan
film yang berfungsi memancarkan, menyebarkan informasi, berita, gagasan,
pikiran atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka
dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi dan jurnalistik
pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya golongan pada produk-produk
penerbitan yang melalui percetakan seperti surat kabar dan majalah.
Dalam
penulisan
makalah ini peneliti akan mengambil pengertian pers
secara sempit sehingga peneliti akan menjadikan surat kabar atau koran sebagai
objek yang diteliti. Surat kabar yaitu kumpulan, berita, artikel, cerita, iklan
atau sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran plano, terbit secara
teratur setiap hari atau setiap minggu sekali.[11].
Disini akan diambil surat kabar sebagai objek penulisan
makalah , sebab
surat kabar adalah jenis media yang tertua dibanding media massa lainnya dan
merupakan sarana informasi yang penting bagi masyarakat. Disamping itu
kelebihan surat kabar tidak tertandingi oleh jenis media lain manapun, karena
surat kabar merupakan media massa yang paling luas penyabarannya, serta paling
dalam daya tampungnya untuk merekam kejadian sehari-hari sepanjang sejarah di
negara maupun di dunia.[12].
Media cetak konvensional seperti surat kabar memiliki satu kelebihan yang
penting dibanding media massa lainnya, yaitu bisa disimpan untuk waktu lama
sehingga berita-berita yang dianggap penting dapat terus diingat.
Betapapun
cepatnya penetrasi siaran televisi dan siaran radio ke rumah-rumah khalayak,
banyak orang yang masih tetap haus pada informasi dan pertukaran pendapat yang
jauh lebih mendalam di media cetak daripada media elektronik. Media televisi
dan radio menyediakan sajian yang tidak lebih dari 24 jam sehari. Selain itu
terbitan pers bisa dibaca berulang-ulang dan sampai sekarang masih tetap
menjadi sumber penting bagi pengecekan autensitas informasi.
Untuk
kepentingan penulisan makalah ini,
digunakan surat kabar harian sebagai objek penulisan
makalah . Hal
ini disebabkan karena diantara segala bentuk pers, surat kabar harian adalah
bentuk pers yang menduduki tempat terpenting terutama dalam aspek pemberitaan
dan editorialnya, karena surat kabar secara historis, aktual maupun normatif
mempunyai gengsi politik yang tinggi dibanding bentuk pers lainnya. Surat kabar
harian adalah bentuk pers yang menyajikan berita maupun editorial yang paling
aktual, menyajikan peristiwa yang baru terjadi serta memberikan komentar dan
opini. Surat kabar harian adalah forum harian bagi masyarakat untuk memperdebatkan
atau menilai berbagai peristiwa[13].
Surat kabar harian adalah forum bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri
maupun bercermin diri.
Dalam
jurnalisme, kebenaran tidaklah bisa diklaim oleh satu pihak. Tapi harus
dikonfirmasikan menurut kebenaran dari pihak lain. Inilah mengapa pemberitaan
di surat kabar senantiasa dituntut untuk mengungkapkan kebenaran secara fairness. Yaitu salah satu syarat
obyektifitas berita yang acap dikenal dengan istilah pemberitaan cover both side, di mana pers menyajikan
semua pihak yang terlibat sehingga pers mempermudah pembaca menemukan
kebenaran. Selain tuntutan pemberitaan yang fair, pers juga dituntut melakukan
pemberitaan yang akurat, yang tidak boleh berbohong, menyatakan fakta jika itu
memang fakta, dan pendapat jika itu memang pendapat.[14]
- Sikap Ideal
Media Massa
Sikap adalah suatu bangun psikologis yang
dapat berbentuk sikap individual dan sikap sosial. Sikap individu adalah sikap
yang diyakini oleh individu, sedangkan sikap sosial adalah sikap yang diyakini
sekelompok orang terhadap suatu objek.[15]
Media massa merupakan institusi sosial, sehingga sikap media merupakan sikap
sosial. Konsep sikap antara lain dikemukakan oleh Thurstone, menurutnya sikap
adalah menyukai atau menolak suatu objek psikologis seperti simbol, kata-kata,
lembaga, orang atau ide.[16]
Sedangkan menurut Emory Bogardus sikap adalah suatu kecenderungan untuk
bereaksi tertentu terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat bersifat positif
atau bersifat negatif.[17]
Sikap merupakan kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus
untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang, institusi, kejadian atau
persoalan tertentu baik positif maupun negatif.[18]
Sebagaimana
yang telah disinggung di atas bahwa informasi dikatakan objektif jika akurat,
jujur, lengkap, sesuai dengan kenyataan, bisa diandalkan, dan memisahkan fakta
dengan opini. Informasi juga harus seimbang dan adil, dalam artian melaporkan
perspektif-perspektif alternatif dalam sifat yang tidak sensasional dan tidak
bias. Sehingga dapat dikatakan netralitas
media massa adalah dimana sikap yang ditampilkan adalah sikap yang adil dan
seimbang atau sikap dimana berita yang positif dan negatifnya seimbang. Maka
media massa sebagai institusi pembawa dan penyampai informasi harus
melaksanakan tuntutan obyektifitas diatas dan ditambah sikap netralitas yang
tidak dapat ditawar.
Rizal Malaranggeng melakukan penulisan
makalah mengenai keberadaan institusi pers dalam
struktur politik di Indonesia. Dalam penulisan
makalah tersebut sikap media menjadi indikator posisi
strukturalnya. Dalam mengidentifikasi orientasi informasi terdapat kategori
mendukung yang didefinisikan jika muatan media pers ditujukan untuk menyetujui
dan mendukung suatu persoalan. Kategori mengkritik jika muatan media pers ditujukan
untuk menentang, tidak sepakat/setuju, menolak suatu persoalan. Jadi
berdasarkan penjelasan diatas, untuk keperluan penulisan
makalah ini sikap positif sama dengan kecenderungan
untuk menyetujui, mendukung, membenarkan/melegitimasi suatu objek sikap
sedangkan sikap negatif sama dengan kecenderungan untuk tidak setuju, menolak,
mengkritik, tidak membenarkan/menlegitimasi suatu objek sikap.[19]
Cara
media bersikap dipengaruhi oleh posisi pers dilingkungan negara, seperti yang
digambarkan oleh Eep Saefullah, bahwa posisi pers menjadi titipan kepentingan tiga komunitas: negara, modal, dan
masyarakat. Masyarakat “menitipkan” kepentingan pada pers untuk memperoleh
informasi aktual-faktual, menyalurkan aspirasi politik dan menjadikan pers
sebagai kekuatan kontrol sosial. Negara “menitipkan” kepentingan agar pers
menjadi agen pembangunan dan modernisasi dengan cara ikut menjaga stabilitas,
ketentraman dan tertib politik. Sementara kekuatan modal berkepentingan agar
pers menjadi agen produksi yang produknya laik pasar dan mendukung program
akumulasi modal.[20] Jika
diringkas dalam bentuk bagan pers berada dalam sebuah segitiga dengan tiga
kepentingan disetiap ujung segitiga tersebut. Posisi sosio-politik-ekonomi pers
yang menghubungkan tiga kuasa yaitu kuasa masyarakat, kuasa negara, dan kuasa
modal. Pers sebagai salah satu pilar
demokrasi, dituntut untuk menyalurkan aspirasi masyarakat banyak, dengan tidak
berpihak pada salah satu kepentingan kekuasaan. Pers dalam posisi ideal tidak
boleh menjadi salah satu corong kelompok politik tertentu, artinya pers
merupakan institusi yang non partisan. Keberpihakan yang ditunjukkan oleh pers
adalah keberpihakan pada masyarakat.
Komponen
sikap menurut Allport[21]
terdiri dari tiga yaitu pertama komponen
kognitif; dalam komponen ini sikap berisikan suatu ide, anggapan,
pengetahuan atau keyakinan dari subjek terhadap objek sikap. Komponen kedua
yaitu komponen afektif; merupakan
komponen sikap yang meliputi emosi ataupun perasaan subjek terhadap objek
sikap. Dengan adanya komponen ini sikap dapat dirasakan sebagai satu hal yang
menerima atau menolak. Komponen yang ketiga adalah komponen perilaku; yaitu predisposisi atau kesiapan subjek untuk
bertindak terhadap objek sikap, artinya dalam komponen ini sikap terlihat lebih
kongkrit dalam bentuk tindakan. Oleh karena pemberitaan merupakan salah satu
bentuk konkrit dari pers, maka untuk keperluan penulisan
makalah ini.
D. Realita Media Massa
Media massa mampu mempengaruhi pemikiran maupun
tindakan khalayak. Budaya, sosial, dan politik dipengaruhi oleh media. Media
membentuk opini publik untuk membawa seseorang pada perubahan. Seperti bentuk
pencitaraan yang dilakukan oleh Partai Nasional Demokrat, yang menggunakan
media massa sebagai medium iklan untuk menggambarkan bahwa partai tersebut pro
kepada rakyat. Sering juga media massa mengadili seseorang melalui pemberitaan
media massa, dimana hal ini mampu membunuh karakter seseorang agar reputasi
seseorang jatuh didepan publik.
Pembunuhan karakter adalah kejahatan seseorang
terhadap orang lain, karena tidak berhaknya seseorang untuk berkarya
mengembangkan dirinya kepada masyarakat[22].
Pemberitaan yang seringkali dimuat oleh media saat ini lebih kepada pembunuhan
karakter seseorang yang dilakukan para politisi. Dan media pun merasa hal
seperti ini merupakan model produksi jurnalis, tanpa memandang apapun akibat
dari pemberitaannya bagi semua pihak.
Efek yang terjadi dengan hal yang seperti itu, akan
merusaknya kontrol sosial, sistem-sistem sosial, sistem budaya, pandangan hidup
dan konsep realitas orang, dan juga bisa menciptakan gagasan baru yang mampu
merusak peradaban umat manusia. Efek media seperti ini dapat dengan mudah
dilupakan oleh masyarakat, karena kurangnya pemberitaan yang disampaikan oleh
media. Namun dampak yang dilakukan berdampak pada tingkat kerusakan sosial yang
terjadi akibat dari efek media massa yang tidak diharapkan.
Persaingan media masa yang terjadi pada saat ini menyebabkan
media masa mengorbankan keindenpendensiannya dengan menyajikan pemberitaan yang
justru menyerang norma-norma sosial yang menyebabkan terciptanya perilaku
pelanggaran norma sosial. Media masa sekarang juga sering menyerang seseorang
dan merusaknama baik orang tersebut, media massa juga sering digunakan oleh
negara adikuasa menjadi alat kolonialisme modern untuk memerangi negara kecil
dan miskin.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi
dalam sistem politik yang sangat penting. Komunikas politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan
politik rakyat yang menjadi input sistem politik dan pada waktu yang sama ia
juga menyalurkan kebijakan yang diambil atau output sistem politik. Komunikasi
politik dapat berarti sebagai penyebaran arti, makna, atau pesan yang
bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik. Komunikasi politik, seperti
komunikasi lainnya, membutuhkan seorang pengirim, pesan-pesan, beberapa saluran
atau seorang pengirim, dan seorang penerima. Kebanyakan komunikasi politik
merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga yang terspesialisasi, seperti media
massa, badan-badan informasi pemerintah, atau partai politik.
Media massa merupakan salah satu alat yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh sejumlah informasi. Melihat
fakta yang terjadi di Indonesia, media massa saat ini tidak berjalan sesuai
dengan etika pers. Media massa kurang efektif menjalankan fungsinya yang
independen dalam membentuk netralitas opini publik, hal ini disebabkan adanya faktor
keberpihakan kepada kelompok yang memiliki peran penting dalam sebuah
kelembagaan pers media massa.
Pada akhirnya terciptalah sebuah media massa yang
hanya menjadi sebuah wadah untuk orang-orang yang memiliki kepentingan
didalamnya. Media massa juga secara instan dapat membentuk kristalisasi opini
publik, yang hanya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
B. Saran
Setelah mencoba memahami permasalahan media massa di
Indonesia dengan melihat realitia yang terjadi di lapangan, penulis menyarankan
dalam memilih media massa untuk dijadikan sebagai referensi dalam memahami
gejala sosial di Indonesia, terutama gejala politis untuk dapat terlebih dahulu
melihat menimbang mutu dan netralitas dari sebuah media massa dalam
menyampaikan fenomena-fenomena yang terjadi. Maka putuskanlah media-media massa
yang lebih cenderung kepada ketidak seimbangan penyampaian informasi untuk
tidak dijadikan sebagai acuan dalam memahami fenomena sosial.
Oleh karena itu, sebagai insan akademis, pencipta,
pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang dirihoi Allah SWT, kita bertanggung jawab terhadap
masyarakat, terutama mayarakat awam untuk mencerdaskan analisis opini publik.
Yakin Usaha Sampai.
[1] Fred S. Siebert, dkk. Empat Teori Pers, Jakarta : PT
Intermasa, 1986, hlm 8
[2] Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media), (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 1999), hlm 5.
[3] A. Hoogerwerf, Politikologi, (Jakarta:
Erlangga, 1985) hal 43, sebagaimana dikutip dalam skripsi Ade Jumiarti M.,
Op.cit., hlm 14.
[4] Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (ed), Indonesia dan Komunikasi Politik,
(Jakarta: PT Gramedia, 1993), hlm 12
[5] Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (ed), Ibid., hlm 13
[6] Jack C. Plano, Kamus Analisa Politik, Jakarta: CV Rajawali Pers, 1989) hlm 164
[7] Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, Op.cit.,hlm 10
[8] Jonathan Crowther (ed), Oxford Advanced Learner’s Dictionary,
(Oxford University Press, hlm 720)
[9] Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998) hlm 135
[10] Junanto Iman Prakoso, Op.Cit., hlm 112.
[11] Totok Djuroto, Penerbitan Pers, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm 11.
[12] Iim Nurhayati, dkk, Op. Cit., hlm 59.
[13] Ana Mariani, “Analisis Isi Liputan Berita
tentang Soeharto Pada Harian Kompas dan Jawa Pos terbitan Januari–Desember
1996”, Jurnal Penelitian edisi Ilmu-ilmu
Sosial, vol. XIV. No. tahun 2003,
hlm 14
[14] Siebert, Peterson, Shramm; 1986:99 seperti
yang dikutip oleh Burhan Bungin (ed), Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2003), hlm 154.
[15] Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu
Kesejahteraan Sosial, Dasar-Dasar Pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1994), hal. 178.
[16] Daniel J. Mueller, Mengukur Sikap Sosial:
Pegangan Untuk Peneliti dan Praktisi, Eddy
Kartaw
Soewandi
(terj), Op.cit.,
[17] Kartini Kartono, Op.cit., hlm 227.
[18] C. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Dr. Kartini Kartono (terj.), ed, 1.cet. 2,
Op.Cit
[19] Rizal Malaranggeng, Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Harian Kompas dan Suara Karya, Seri Monografi 4 Juli 1992, (Jakarta:
FISIPOL UGM dan CV. Rajawali, 1992), hlm 67-68.
[20] Eep Syaifullah Fatah, Membangun Oposisi, Agenda-Agenda Perubahan
Poltik Masa Depan, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1994), hlm 180.
[21] Isbandi Rukminto, Op. Cit., hlm 180.
[22]
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi,
Jakarta: Kencana, 2008. hlm 356-357