Jumat, 02 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan perpolitikan di Indonesia pasca Orde Baru, maka dapat dikatakan pada saat ini bahwa, pers atau media massa merupakan salah satu kekuatan dalam menentukan opini masyarakat. Apalagi dalam kehidupan berdemokrasi saat ini pers atau media massa adalah salah satu pilar penting yang mendukung tegaknya demokrasi. Dalam sistem politik di negara demokrasi, pers atau media massa merupakan alat atau sarana yang efektif untuk mengawasi jalannya sebuah pemerintahan, di samping fungsi lainnya untuk memberi informasi, menghibur, dan berjualan[1].
Dalam kerangka kehidupan berdemokrasi, pers atau media massa merupakan salah satu pilar penting tegaknya sebuah demokrasi, khususnya di negara yang berdemokrasi seperti di Indonesia. Aktivitas pers Indonesia dalam melaporkan suatu peristiwa-peristiwa, khususnya peristiwa-peristiwa politik mampu memberikan dampak yang amat signifikan bagi perkembangan politik. Sebagai contoh kasus ketika pers Indonesia memberikan pemberitaan terbuka tentang keberatan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah turut serta mempercepat tumbangnya rezim itu pada tahun 1998 oleh gerakan Reformasi.
      Pada masa Orde Baru, kehidupan pers di Indonesia kembali mengalami keterpurukan, pada masa ini peran pers dalam segi kontrol agak berkurang. Media massa tampak masih dikontrol oleh pemerintah. Pada masa Orde Baru, pemberitaan media disensor demi kepentingan kekuasaan. Bahkan ada beberapa media yang dicabut izin penerbitannya karena menampilkan berita yang dianggap mengkritik pemerintah Orde Baru. Kemudian pada Zaman Reformasi ini kecenderungan media yang diperlihatkan adalah kebebasan dalam pemberitaan, terutama berita-berita politik. Menyikapi isu politik dengan perspektif yang kritis, dilengkapi dengan penilaian serta sikap media atas peristiwa politik yang terjadi.
Media massa secara teoritis memiliki fungsi sebagai saluran informasi, saluran pendidikan dan saluran hiburan, namun kenyataannya media massa memberi efektif lain diluar fungsinya. Efek media massa tidak saja mempengaruhi perilaku, bahkan efek media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat dan politik. Pembingkaian berita dengan maksud-maksud tertentu oleh sebuah media massa, dapat dilakukan dalam waktu pendek dan efeknya dapat membentuk opini-opini yang bisa diperkirakan oleh orang media, termasuk pula aturan agenda yang berakibat terhadap terpolanya agenda masyarakat sesuai dengan pilihan agenda media. Adanya dampak komunikasi terhadap persepsi seseorang, yang bisa memainkan peranan penting dalam kepentingan.
Salah satu dari etika junalisme adalah asas ketidakberpihakan yang mengandung aspek keseimbangan dan netralitas. Sebagai salah satu media massa guna untuk memberikan informasi kepada masyarakat, penyiaran sebagai komunikasi massa yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Hal ini tercermin dalam fungsi yang dimiliki oleh media massa,
B.     Perumusan Masalah
Namun saat sekarang ini media massa khususnya Indonesia mengalami degradasi  peran, sehingga sekilas terlihat pemanfaatan media massa hanya menjurus pada pemanfaatan  kepentingan dikalangan politisi, sehingga mengenyampingkan peranan lainnya yang seharusnya dimiliki media massa. Hal ini dibuktikan dengan berlomba-lomba pennguasaan atas media massa dalam usaha melakukan politik, hal ini dicerminkan melalu pemanfaatan media massa sebagai sarana komunikasi politik, dalam bentuk pembangunan pencitraan yang biasanya dilakukan dengan cara melemparkan isu-isu yang berdampak pada citra karakter.
            Hal inilah yang pada akhirnya menpersempit arti makna pentingnya peranan sebuah media massa dalam proses demokratisasi kehidupan bernegara, oleh karena itu Burhan Bungin menjelaskan bagaimana efek dari ketidakbermanfaatannya dari sebuah media massa dalam membentuk proses komunikasi dalam struktur dan proses sosial. Maka dirasakan penting untuk membahas sejauh manakah efek yang diberikan oleh media massa secara langsung dan tidak langsung dalam kehidupan politik di Indonesia.
BAB II
ISI

A.    Komunikasi Politik
Menurut DeFleur komunikasi adalah pengkoordinasian makna antara seseorang dan khalayak, sedangkan menurut George A. Theodorson menyatakan komunikasi adalah pengalihan informasi dari satu orang atau kelompok kepada yang lain, terutama dengan menggunakan simbol.[2]. Sedangkan politik adalah suatu tata cara atau usaha untuk mengatur secara aktif perkembangan suatu masyarakat dalam keseluruhannya dan pemberian bentuk kepada masyarakat masa depan[3]. Harold Laswell[4] menjelaskan betapa erat hubungan dunia politik dengan dunia komunikasi, dalam artikulasiannya, politik tidak akan lepas dari persoalan siapa, mengatakan apa dan melalui media mana, dan kepada siapa, serta dengan pengaruh bagaimana.
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi dalam sistem politik yang sangat penting. Komunikas politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan kebijakan yang diambil atau output sistem politik[5]. Komunikasi politik dapat berarti sebagai penyebaran arti, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik. Komunikasi politik, seperti komunikasi lainnya, membutuhkan seorang pengirim, pesan-pesan, beberapa saluran atau seorang pengirim, dan seorang penerima. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga yang terspesialisasi, seperti media massa, badan-badan informasi pemerintah, atau partai politik[6].
Dalam sistem politik, komunikasi berfungsi sebagai penghubung antara situasi kehidupan politik yang ada pada suprastruktur politik dengan infrastruktur politik yang dapat dipakai untuk menciptakan kondisi politik yang stabil. Komunikasi dapat disalurkan melalui berbagai jenis sarana dan media komunikasi yang ada, baik melalui media cetak, media elektronik, maupun media internasional[7]. Salah satu saluran komunikasi yang berperan sangat penting dan efektif adalah media massa. Hal ini disebabkan karena media massa bersifat mudah didapatkan oleh setiap masyarakat, bisa menyampaikan berita dan pesan secara serentak, serta memiliki jangkauan yang luas. Secara umum media massa mempunyai peran tertentu dalam menyalurkan berita, informasi, dan pesan-pesan politik di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi dan pesan-pesan politik yang mengandung unsur kontroversial atas isi pesan sebagai input dalam sistem politik yang ditujukan pada sejumlah sasaran baik dalam bentuk kata-kata, simbol, berita, atau pendapat melalui suatu sarana yaitu media massa. Media massa dalam studi ini selain menjadi sarana pengirim pesan politik juga memainka peran dalam menafsirkan pesan-pesan politik tersebut dalam pemberitaannya. Peran tersebut terkait dengan fungsi media dalam negara demokratis yaitu fungsi watchdog yang mengontrol jalannya pemerintahan agar sistem politik pun berjalan dengan semestinya.
 B.     Media Massa
Menurut kamus oxford, media massa yang disebut mass media atau  mass communications didefinisikan sebagai : ”Sources of information and news such as newspaper, magazines, radio, and television that reach and influence large number of people[8]. Disebut media massa karena adanya karakter massa yang dimiliki oleh media. Dalam studi komunikasi politik media massa sebagai salah satu elemen sistem politik dilihat secara kritis. Hafied Cangara mengatakan bahwa media massa adalah alat yang digunakan dalam peyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi[9].  Zulkarimen Nasution mengatakan bahwa pada intinya sudut tinjau komunikasi politik berfokus, pertama, menghubungkan pembangunan media massa, organisasi-organisasi artikulasi politik dan pernyataan kepentingan serta pembentukan opini kolektif, dengan reaksi individual terhadap tantangan ide-ide baru, peradaban mereka atas nilai-nilai yang saling bertentangan; dan kedua, menunjukkan bahwa seluruh problematika yang kompleks tersebut mendasari permasalahan umum konsensus politik.[10].
            Media massa merupakan salah satu alat yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh sejumlah informasi. Media massa itu sendiri terdiri dari berbagai jenis yaitu media cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid dan media yang melalui proses pencetakan lainnya dan media elektronik seperti televisi, radio dan internet. Sebagaimana diketahui, salah satu media massa yang sarat dengan informasi adalah pers. Pers merupakan cermin realitas, karena pers pada dasarnya merupakan media massa yang lebih menekankan fungsinya sebagai sarana pemberitaan. Isi pers yang utama adalah berita dan berita adalah bagian dari realitas sosial yang dimuat media karena memiliki nilai yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat.
            Istilah pers yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris press yang mempunyai pengertian luas dan sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa seperti radio, televisi dan film yang berfungsi memancarkan, menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi dan jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya golongan pada produk-produk penerbitan yang melalui percetakan seperti surat kabar dan majalah.
            Dalam penulisan makalah  ini peneliti akan mengambil pengertian pers secara sempit sehingga peneliti akan menjadikan surat kabar atau koran sebagai objek yang diteliti. Surat kabar yaitu kumpulan, berita, artikel, cerita, iklan atau sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran plano, terbit secara teratur setiap hari atau setiap minggu sekali.[11]. Disini akan diambil surat kabar sebagai objek penulisan makalah , sebab surat kabar adalah jenis media yang tertua dibanding media massa lainnya dan merupakan sarana informasi yang penting bagi masyarakat. Disamping itu kelebihan surat kabar tidak tertandingi oleh jenis media lain manapun, karena surat kabar merupakan media massa yang paling luas penyabarannya, serta paling dalam daya tampungnya untuk merekam kejadian sehari-hari sepanjang sejarah di negara maupun di dunia.[12]. Media cetak konvensional seperti surat kabar memiliki satu kelebihan yang penting dibanding media massa lainnya, yaitu bisa disimpan untuk waktu lama sehingga berita-berita yang dianggap penting dapat terus diingat.
            Betapapun cepatnya penetrasi siaran televisi dan siaran radio ke rumah-rumah khalayak, banyak orang yang masih tetap haus pada informasi dan pertukaran pendapat yang jauh lebih mendalam di media cetak daripada media elektronik. Media televisi dan radio menyediakan sajian yang tidak lebih dari 24 jam sehari. Selain itu terbitan pers bisa dibaca berulang-ulang dan sampai sekarang masih tetap menjadi sumber penting bagi pengecekan autensitas informasi.
            Untuk kepentingan penulisan makalah  ini, digunakan surat kabar harian sebagai objek penulisan makalah . Hal ini disebabkan karena diantara segala bentuk pers, surat kabar harian adalah bentuk pers yang menduduki tempat terpenting terutama dalam aspek pemberitaan dan editorialnya, karena surat kabar secara historis, aktual maupun normatif mempunyai gengsi politik yang tinggi dibanding bentuk pers lainnya. Surat kabar harian adalah bentuk pers yang menyajikan berita maupun editorial yang paling aktual, menyajikan peristiwa yang baru terjadi serta memberikan komentar dan opini. Surat kabar harian adalah forum harian bagi masyarakat untuk memperdebatkan atau menilai berbagai peristiwa[13]. Surat kabar harian adalah forum bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri maupun bercermin diri.
            Dalam jurnalisme, kebenaran tidaklah bisa diklaim oleh satu pihak. Tapi harus dikonfirmasikan menurut kebenaran dari pihak lain. Inilah mengapa pemberitaan di surat kabar senantiasa dituntut untuk mengungkapkan kebenaran secara fairness. Yaitu salah satu syarat obyektifitas berita yang acap dikenal dengan istilah pemberitaan cover both side, di mana pers menyajikan semua pihak yang terlibat sehingga pers mempermudah pembaca menemukan kebenaran. Selain tuntutan pemberitaan yang fair, pers juga dituntut melakukan pemberitaan yang akurat, yang tidak boleh berbohong, menyatakan fakta jika itu memang fakta, dan pendapat jika itu memang pendapat.[14]
  1. Sikap Ideal Media Massa
            Sikap adalah suatu bangun psikologis yang dapat berbentuk sikap individual dan sikap sosial. Sikap individu adalah sikap yang diyakini oleh individu, sedangkan sikap sosial adalah sikap yang diyakini sekelompok orang terhadap suatu objek.[15] Media massa merupakan institusi sosial, sehingga sikap media merupakan sikap sosial. Konsep sikap antara lain dikemukakan oleh Thurstone, menurutnya sikap adalah menyukai atau menolak suatu objek psikologis seperti simbol, kata-kata, lembaga, orang atau ide.[16] Sedangkan menurut Emory Bogardus sikap adalah suatu kecenderungan untuk bereaksi tertentu terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat bersifat positif atau bersifat negatif.[17] Sikap merupakan kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang, institusi, kejadian atau persoalan tertentu baik positif maupun negatif.[18]
            Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa informasi dikatakan objektif jika akurat, jujur, lengkap, sesuai dengan kenyataan, bisa diandalkan, dan memisahkan fakta dengan opini. Informasi juga harus seimbang dan adil, dalam artian melaporkan perspektif-perspektif alternatif dalam sifat yang tidak sensasional dan tidak bias. Sehingga dapat dikatakan netralitas media massa adalah dimana sikap yang ditampilkan adalah sikap yang adil dan seimbang atau sikap dimana berita yang positif dan negatifnya seimbang. Maka media massa sebagai institusi pembawa dan penyampai informasi harus melaksanakan tuntutan obyektifitas diatas dan ditambah sikap netralitas yang tidak dapat ditawar.
Rizal Malaranggeng melakukan penulisan makalah  mengenai keberadaan institusi pers dalam struktur politik di Indonesia. Dalam penulisan makalah  tersebut sikap media menjadi indikator posisi strukturalnya. Dalam mengidentifikasi orientasi informasi terdapat kategori mendukung yang didefinisikan jika muatan media pers ditujukan untuk menyetujui dan mendukung suatu persoalan. Kategori mengkritik jika muatan media pers ditujukan untuk menentang, tidak sepakat/setuju, menolak suatu persoalan. Jadi berdasarkan penjelasan diatas, untuk keperluan penulisan makalah  ini sikap positif sama dengan kecenderungan untuk menyetujui, mendukung, membenarkan/melegitimasi suatu objek sikap sedangkan sikap negatif sama dengan kecenderungan untuk tidak setuju, menolak, mengkritik, tidak membenarkan/menlegitimasi suatu objek sikap.[19]
            Cara media bersikap dipengaruhi oleh posisi pers dilingkungan negara, seperti yang digambarkan oleh Eep Saefullah, bahwa posisi pers menjadi titipan kepentingan tiga komunitas: negara, modal, dan masyarakat. Masyarakat “menitipkan” kepentingan pada pers untuk memperoleh informasi aktual-faktual, menyalurkan aspirasi politik dan menjadikan pers sebagai kekuatan kontrol sosial. Negara “menitipkan” kepentingan agar pers menjadi agen pembangunan dan modernisasi dengan cara ikut menjaga stabilitas, ketentraman dan tertib politik. Sementara kekuatan modal berkepentingan agar pers menjadi agen produksi yang produknya laik pasar dan mendukung program akumulasi modal.[20] Jika diringkas dalam bentuk bagan pers berada dalam sebuah segitiga dengan tiga kepentingan disetiap ujung segitiga tersebut. Posisi sosio-politik-ekonomi pers yang menghubungkan tiga kuasa yaitu kuasa masyarakat, kuasa negara, dan kuasa modal.    Pers sebagai salah satu pilar demokrasi, dituntut untuk menyalurkan aspirasi masyarakat banyak, dengan tidak berpihak pada salah satu kepentingan kekuasaan. Pers dalam posisi ideal tidak boleh menjadi salah satu corong kelompok politik tertentu, artinya pers merupakan institusi yang non partisan. Keberpihakan yang ditunjukkan oleh pers adalah keberpihakan pada masyarakat.
            Komponen sikap menurut Allport[21] terdiri dari tiga yaitu pertama komponen kognitif; dalam komponen ini sikap berisikan suatu ide, anggapan, pengetahuan atau keyakinan dari subjek terhadap objek sikap. Komponen kedua yaitu komponen afektif; merupakan komponen sikap yang meliputi emosi ataupun perasaan subjek terhadap objek sikap. Dengan adanya komponen ini sikap dapat dirasakan sebagai satu hal yang menerima atau menolak. Komponen yang ketiga adalah komponen perilaku; yaitu predisposisi atau kesiapan subjek untuk bertindak terhadap objek sikap, artinya dalam komponen ini sikap terlihat lebih kongkrit dalam bentuk tindakan. Oleh karena pemberitaan merupakan salah satu bentuk konkrit dari pers, maka untuk keperluan penulisan makalah  ini.
D.   Realita Media Massa
Media massa mampu mempengaruhi pemikiran maupun tindakan khalayak. Budaya, sosial, dan politik dipengaruhi oleh media. Media membentuk opini publik untuk membawa seseorang pada perubahan. Seperti bentuk pencitaraan yang dilakukan oleh Partai Nasional Demokrat, yang menggunakan media massa sebagai medium iklan untuk menggambarkan bahwa partai tersebut pro kepada rakyat. Sering juga media massa mengadili seseorang melalui pemberitaan media massa, dimana hal ini mampu membunuh karakter seseorang agar reputasi seseorang jatuh didepan publik.
Pembunuhan karakter adalah kejahatan seseorang terhadap orang lain, karena tidak berhaknya seseorang untuk berkarya mengembangkan dirinya kepada masyarakat[22]. Pemberitaan yang seringkali dimuat oleh media saat ini lebih kepada pembunuhan karakter seseorang yang dilakukan para politisi. Dan media pun merasa hal seperti ini merupakan model produksi jurnalis, tanpa memandang apapun akibat dari pemberitaannya bagi semua pihak.
Efek yang terjadi dengan hal yang seperti itu, akan merusaknya kontrol sosial, sistem-sistem sosial, sistem budaya, pandangan hidup dan konsep realitas orang, dan juga bisa menciptakan gagasan baru yang mampu merusak peradaban umat manusia. Efek media seperti ini dapat dengan mudah dilupakan oleh masyarakat, karena kurangnya pemberitaan yang disampaikan oleh media. Namun dampak yang dilakukan berdampak pada tingkat kerusakan sosial yang terjadi akibat dari efek media massa yang tidak diharapkan.
Persaingan media masa yang terjadi pada saat ini menyebabkan media masa mengorbankan keindenpendensiannya dengan menyajikan pemberitaan yang justru menyerang norma-norma sosial yang menyebabkan terciptanya perilaku pelanggaran norma sosial. Media masa sekarang juga sering menyerang seseorang dan merusaknama baik orang tersebut, media massa juga sering digunakan oleh negara adikuasa menjadi alat kolonialisme modern untuk memerangi negara kecil dan miskin.
 BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi dalam sistem politik yang sangat penting. Komunikas politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan kebijakan yang diambil atau output sistem politik. Komunikasi politik dapat berarti sebagai penyebaran arti, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik. Komunikasi politik, seperti komunikasi lainnya, membutuhkan seorang pengirim, pesan-pesan, beberapa saluran atau seorang pengirim, dan seorang penerima. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga yang terspesialisasi, seperti media massa, badan-badan informasi pemerintah, atau partai politik.
Media massa merupakan salah satu alat yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh sejumlah informasi. Melihat fakta yang terjadi di Indonesia, media massa saat ini tidak berjalan sesuai dengan etika pers. Media massa kurang efektif menjalankan fungsinya yang independen dalam membentuk netralitas opini publik, hal ini disebabkan adanya faktor keberpihakan kepada kelompok yang memiliki peran penting dalam sebuah kelembagaan pers media massa.
Pada akhirnya terciptalah sebuah media massa yang hanya menjadi sebuah wadah untuk orang-orang yang memiliki kepentingan didalamnya. Media massa juga secara instan dapat membentuk kristalisasi opini publik, yang hanya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.

B.    Saran
Setelah mencoba memahami permasalahan media massa di Indonesia dengan melihat realitia yang terjadi di lapangan, penulis menyarankan dalam memilih media massa untuk dijadikan sebagai referensi dalam memahami gejala sosial di Indonesia, terutama gejala politis untuk dapat terlebih dahulu melihat menimbang mutu dan netralitas dari sebuah media massa dalam menyampaikan fenomena-fenomena yang terjadi. Maka putuskanlah media-media massa yang lebih cenderung kepada ketidak seimbangan penyampaian informasi untuk tidak dijadikan sebagai acuan dalam memahami fenomena sosial.
Oleh karena itu, sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang dirihoi Allah SWT, kita bertanggung jawab terhadap masyarakat, terutama mayarakat awam untuk mencerdaskan analisis opini publik.
Yakin Usaha Sampai.


[1] Fred S. Siebert, dkk. Empat Teori Pers, Jakarta : PT Intermasa, 1986, hlm 8
[2] Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999), hlm 5.
[3] A. Hoogerwerf, Politikologi, (Jakarta: Erlangga, 1985) hal 43, sebagaimana dikutip dalam skripsi Ade Jumiarti M., Op.cit., hlm 14.
[4] Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (ed), Indonesia dan Komunikasi Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hlm 12
[5] Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (ed), Ibid., hlm 13
[6] Jack C. Plano, Kamus Analisa Politik, Jakarta: CV Rajawali Pers, 1989) hlm 164
[7] Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, Op.cit.,hlm 10
[8] Jonathan Crowther (ed), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford University Press, hlm 720)
[9] Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998) hlm 135
[10] Junanto Iman Prakoso, Op.Cit., hlm 112.
[11] Totok Djuroto, Penerbitan Pers, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm 11.
[12] Iim Nurhayati, dkk, Op. Cit., hlm 59.
[13] Ana Mariani, “Analisis Isi Liputan Berita tentang Soeharto Pada Harian Kompas dan Jawa Pos terbitan Januari–Desember 1996”, Jurnal Penelitian edisi Ilmu-ilmu Sosial, vol. XIV. No.  tahun 2003, hlm 14
[14] Siebert, Peterson, Shramm; 1986:99 seperti yang dikutip oleh Burhan Bungin (ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm 154.
[15] Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Dasar-Dasar Pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 178.
[16] Daniel J. Mueller, Mengukur Sikap Sosial: Pegangan Untuk Peneliti dan Praktisi, Eddy  Kartaw
    Soewandi (terj), Op.cit.,
[17] Kartini Kartono, Op.cit., hlm 227.
[18] C. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Dr. Kartini Kartono (terj.), ed, 1.cet. 2, Op.Cit
[19] Rizal Malaranggeng, Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Harian Kompas dan Suara Karya, Seri           Monografi 4 Juli 1992, (Jakarta: FISIPOL UGM dan CV. Rajawali, 1992), hlm 67-68.
[20] Eep Syaifullah Fatah, Membangun Oposisi, Agenda-Agenda Perubahan Poltik Masa Depan,     (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hlm 180.
[21] Isbandi Rukminto, Op. Cit., hlm 180.
[22] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2008. hlm 356-357

1 komentar: